ZMedia Purwodadi

Hakim Menolak Permintaan Restitusi, Keluarga Bos Rental Gagal Dapatkan Rp 796 Juta dari 3 Anggota TNI

Table of Contents

Pengadilan Militer II-08 di Jakarta telah menolak permintaan pengembalian uang dari keluarga pemilik perusahaan sewa mobil, Ilyas Abdul Rahman, yang menjadi korban penembakan oleh seorang anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI). Majelis hakim juga memutuskan untuk tidak mewajibkan para tersangka militer tersebut membayar kompensasi senilai Rp 796 juta kepada pihak keluarga.

"Permintaan restitusi yang diajukan oleh militer dianggap tidak sah dan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Ayat 3, Ayat 4, Ayat 7, Ayat 8 dari Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022, sehingga pengajuan tersebut ditolak," jelas Ketua Majelis Hakim, Letnan Kolonel (Chk) Arif Rachman pada persidangan putusan, Selasa (25/3).

Berdasarkan catatan hakim, permohonan restitusi yang dikarenakan oleh surat dari LPSK terdiri atas:

1. Terdakwa pertama, Kelasi Kepala Bahari Bambang Apri Atmojo mengembalikan dana kepada keluarga almarhum Ilyas Abdul Rahman senilai Rp 209.633.500 serta mengganti kerugian kepada saudara Ramli yang menjadi korban luka dengan jumlahRp 146.354.200;

2. Terdakwa kedua, Sertu Bahari Akbar Adli, mengganti kerugian kepada keluarga almarhum Ilyas Abdul Rahman senilai Rp 147.133.500 serta membayarnya kepada korban yang terluka, yaitu Saudara Ramli, sebesar Rp 73.177.100;

3. Tersangka ketiga, Sertu Rafsin Hermawan, mengembalikan kerugian kekeluarga almarhum Ilyas Abdurrahman senilai Rp 147.133.500 serta membayarkan ganti rugi kepada korban cedera bernama Ramli sebesar Rp 73.177.100.

Alasan Tidak Dapat Menerima

Majelis hakim sudah menilai berbagai argumen permohonan restitusi tersebut tak bisa dipertahankan. Salah satu alasannya adalah elemen yang diajukan untuk restitusi tidak cocok dengan Pasal 4 Huruf A Peraturan MA nomor 1 tahun 2022.

"Arif mengungkapkan bahwa alasan perubahan besarannya sesuai dengan penilaian Majelis Hakim dari LPSK adalah karena mereka menemukan beberapa elemen yang sebenarnya tidak harus dimasukkan ke dalam jumlah total restitusi yaitu biaya pembayaran semua angsuran bulanan untuk mobil sewaan," katanya.

Selanjutnya, hakim mempertimbangkan bahwa jumlah restitusi harus dibatasi hanya untuk kasus-kasus terkait terorisme saja.

Arif menambahkan bahwa Majelis Hakim tidak setuju karena perbuatan yang dilakukan oleh para terdakwa pada kasus tersebut bukan termasuk sebagai kejahatan teroris.

Berikutnya, hakim berpendapat bahwa para terdakwa telah dikeluarkan dari TNI, oleh karena itu dipandang tidak sanggup untuk membayarnya dengan jumlah restitution yang dimaksudkan.

"Majelis Hakim menganggap bahwa para terdakwa telah kehilangan kapabilitas finansial dalam hal membayar kembali hak korban yang meninggal atau menjadi cacat serius," jelas Arif.

Akhirnya, pengadilan menganggap bahwa keluarga para korban serta korban dengan luka serius mewakili Ramli telah menerima kompensasi dari unit TNI.

"Mahkamah menganggap bahwa unit dari terdakwa tersebut bisa disebut sebagai pihak ketiga sesuai dengan yang dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 1 Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2022, yakni restitution merupakan kompensasi kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindakan pidana atau pihak ketiga," demikian penegasan Arif.

Anak Korban Tak Permasalahkan

Anak Ilyas, Agam Muhammad Nasrudin, mengatakan bahwa restitusi tidak menjadi tujuan utama bagi keluarganya.

"Terlebih soal restitusi, hal itu merupakan bagian integral dari proses perkaranya. Kami telah mengajukan sesuai dengan undang-undang yang ada di Indonesia. Sejak awal, kita juga tidak membidik adopsi restitusi ini karena menyadari kondisi terdakwa tak mampu membayarnya," jelasnya setelah putusan pengadilan disampaikan.

"Akan tetapi, maksud kita mengajukan restitution adalah agar meningkatkan hukuman bagi para terdakwa dalam kasus ini. Jika para terdakwa tidak mampu membayar, kita juga telah bersiap jika mereka gagal melunasinya. Sebab tujuan utama kita sejak awal memang untuk menambah beban pada para terdakwa," tegasnya.

Wakil Ketua LPSK, Sri Nurherawati juga mengambil putusan hakim. Meski demikian, dia menyampaikan beberapa keterangan tambahan.

"Restitusi ini seharusnya adalah hak bagi para korban yang harus dipikul oleh pelaku. Hal tersebut didasari pada keputusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap," ungkapnya dalam kesempatan yang sama.

Menurut dia, restitusi serta santunan sebaiknya dijauhkan.

"Barusan dijelaskan alasan mengapa restitusi tidak disetujui. Salah satunya adalah karena keluarga telah menerima bantuan keuangan. Oleh karena itu, hal ini jauh berbeda dari pengertian restituasi," ungkapnya.

"Restitusi sesungguhnya adalah hak bagi para korban sebagai hasil dari penderitaan yang disebabkan oleh tindakan kriminal yang dilakukan oleh sang pelaku. Sedangkan santunan ini lebih terkait dengan kesedihan dan rasa sakit. Oleh karena itu, kita harap hal tersebut dapat dipisahkan dan dibeda-bedakan," jelasnya.

Di samping itu, dia menekankan bahwa keadaan terdakwa seharusnya tidak menjadi faktor utama dalam pengambilan keputusan tentang restitusi yang diberikan atau ditolak.

"Memang sejak awal, korban menghadapi kesulitan besar dalam mendapat hak restitusi karena pelaku memiliki pertimbangan khusus terkait situasi dan kondisinya," jelas Sri.

"Nah, berdasarkan peraturan yang ada, masalah ini pastilah terkait dengan istilah restitusi. Kewajiban untuk memenuhi hak para korban mestinya dijalankan. Jadi, seharusnya nilai kerugian ditotal dahulu dan kemudian jumlah restitusi yang wajib dibayarkan. Namun jika tersangka pada akhirnya tak memiliki kemampuan finansial untuk melaksanakan pembayaran tersebut, maka akan menjadi pertimbangan baru," jelasnya lebih lanjut.

Sri menyatakan akan bekerja sama dengan Kejaksaaan Militer yang menangani kasus tersebut. Dia menganjurkan agar Kejaksaan Military mencakup isu restitusi jika berniat melakukan upaya banding.

Posting Komentar

-->